Makna, Hukum Dan Sejarah Munculnya Ibadah Qurban

Makna, Hukum Dan Sejarah Munculnya Ibadah Qurban - Bila bulan haji mulai menjelang, sudah dipastikan umat muslim diseluruh dunia akan bersiap-siap menyambut hari raya kurban atau hari raya idul Adha.

Cara yang dijalankan dalam menyambut hari raya akbar ini memang beda di setiap wilayahnya, namun tetap memiliki kesamaan yang mengikat, yakni dengan melaksanakan amalan-amalan yang dicontohkan oleh baginda Rosul Muhammad Saw.

Memasuki tanggal satu dzulhijjah, banyak umat muslim yang mulai melaksanakan puasa sampai tanggal 9. Ada pula yang memilih untuk berpuasa di tanggal 9 saja dengan alasan pahalanya yang luar biasa. Kendati begitu, ini merupakan cara menunjukan kegembiraan akan datangnya hari raya yang istimewa.

Idul Adha yang jatuh pada setiap tanggal 10 Dzulhijjah juga dikenal orang dengan sebuatan “Hari Raya Haji”, pada hari ini sebagian kaum muslimin sedang menunaikan rangkaian ibadah haji yang utama, yaitu wukuf di Arafah. Mereka semua memakai pakaian serba putih yang tidak berjahit, yang sering di sebut pakaian ihram. Pakaian ihram ini melambangkan persamaan akidah dan pandangan hidup setiap muslim yang perpedoman pada Al-Qur`an dan Hadits serta mempunyai nilai persamaan dalam segala segi kehidupan.

Tidak dapat dibedakan antara mereka, semuanya merata dalam kedudukan sederajat dalam persamaan sebagai manusia. Sama-sama sedang mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Perkasa dengan membaca kalimat talbiyah.

Disamping Idul Adha dinamakan hari raya haji, juga dinamakan “Idul Qurban”, karena pada hari itu Allah memberi kesempatan kepada muslim yang belum berhaji untuk mendekatkan diri kepadaNya dengan melaksanakan kurban, yaitu dengan menyembelih hewan qurban sebagai simbol ketakwaan dan kecintaan seorang muslim kepada Allah SWT.

Makna Dan Hukum Ibadah Qurban Idul Adha

Pengertian

Qurban yang selalu kita laksanakan disetiap tahunnya secara bahasa diambil dari akar kata qariba-yaqrobu-qurbanan wa qirbanan yang memiliki makna dekat.

Dari pengertian menurut bahasa tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dengan apa yang kita lakukan khususnya amaliyah qurban ini kita ingin mendekatkan diri kepada Allah swt. Fakta keinginan untuk bisa dekat dengan Allah swt tersebut adalah ketaatan kita menjalankan perintah kurban itu.

Namun kurban yang kita laksanakan setiap tahun itu didalam bahasa Arab sering diistilahkan dengan kata udhiyah bentuk jamak dari kata dlahiyah dengan akar katanya adalah Dhaha yang berarti waktu duha, ini dikarenakan menyembelih hewan kurban setiap tahunnya dilaksanakan pada waktu duha setelah selesai melaksanakan shalat idul adha.

Oleh karena itu dalam pengertian syara atau kurban menurut syariat adalah menyembelih hewan yang ditentukan dengan maksud melaksanakan perintah Allah swt pada saat idul adha tiba dan 3 hari tasrik setelahnya yakni 11, 12 dan 13 dzulhijjah.

Bagaimanakah Hukum Kurban itu?
Para ulama telah merumuskan bahwa hukum ibadah kurban adalah sunnah muakkad (sunnah yang dikuatkan) atau dengan kata lain "perbuatan sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan"

Ibdah kurban ini selalu dilaksanakan oleh Rosulullah Muhammad saw dan tidak perna Ia tinggalkan sejak hal ini disyari'atkan. Inilah mengapa ibadah kurban ini menjadi sebagian ibadah yang memiliki hukum sunnah dengan status muakkad (sangat dianjurkan untuk dilaksanakan).

Imam Malik dan Imam Syafi'i sama-sama berpendapat bahwa ibdah kurban ini bagian dari sunnah muakkad. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa hukum kurban ini adalah wajib bagi mereka yang mampu kecuali orang yang sedang berada dalam perjalanan (safar).

Bagai manakah hukum menyembelih seekor kambing untuk sekeluarga?
Segala sesuatu terkait ibadah kurban ini telah ada ketentuannya, mulai jenis hewan yang akan dikurbankan, waktu menyembelih, cara menyembelih, cara membagikan daging kurban dan lain sebagainya.

Ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama terdahulu itu tidak lain adalah untuk menjaga ibadah kurban yang dilaksanakan itu agar selalu sesuai dengan apa yang telah disyari'atkan.

Rosulullah pernah melantunkan do'a ketika melaksanakan ibadah kurban ini dengan do'a ;
اللهم هذا عن محمد و عن أمة محمد
ya Allah, ini dari Muhammad dan dari Ummat Muhammad.

Doa diatas bisa dipahami bahwa Rosulullah saw pernah berkurban untuk dirinya dan untuk umatnya dengan seekor hewan kurban.

Do'a Nabi saw diatas, menurut pemahaman para ulama adalah do'a Nabi tersebut merupakan bentuk keperduliannya kepada umat dengan menyertakan mereka dalam pahala kurban dengan seekor kambing yang beliau saw laksanakan. Namun, ibadah kurban yang dilakukan oleh Nabi itu hanya diperuntukan bagi dirinya sendiri.

Oleh karena itu para ulama memberikan kesimpulan bahwa hukum ibadah kurban itu pada dasarnya adalah sunnah kifayah. Sunnah kifayah ini bermakana apabila dikerjakan oleh salah seorang dari anggota keluarga, maka tuntuan dari anjuran ibadah kurban untuk setiap anggota keluarga yang lain itu sudah terpenuhi.

Hal tersebut (kurban satu kambing hanya untuk satu orang ini) telah disepakati oleh para ulama salah satunya adalah Imam An-Nawawi yang menyebutkan bahwa;

 تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد لكن إذا ضحى بها واحد من أهل البيت تأدى الشعار في حق جميعهم وتكون التضحية في حقهم سنة كفاية 
"Seekor kambing kurban cukup bagi satu orang, dan tidak mencukupi untuk yang lebih dari satu orang. Tetapi, jika salah seorang dari anggota keluarga berkurban dengan satu ekor, maka cukuplahlah syiar Islam di keluarga tersebut. Ibadah kurban dalam sebuah keluarga itu sunah kifayah." (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz 8, halaman 397).

Selain Imam Nawawi diatas, Ibnu Hajar menjelaskan proses atau praktik kurban yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. Menurut Beliau, kurban memang untuk satu orang, tetapi orang yang berkurban itu bisa berbagi pahala kurbannya kepada orang lain.


 تُجْزِئُ ( الشَّاةُ ) الضَّائِنَةُ وَالْمَاعِزَةُ ( عَنْ وَاحِدٍ ) فَقَطْ اتِّفَاقًا لَا عَنْ أَكْثَرَ بَلْ لَوْ ذَبَحَا عَنْهُمَا شَاتَيْنِ مُشَاعَتَيْنِ بَيْنَهُمَا لَمْ يَجُزْ ؛ لِأَنَّ كُلًّا لَمْ يَذْبَحْ شَاةً كَامِلَةً وَخَبَرُ اللَّهُمَّ هَذَا عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّةِ مُحَمَّدٍ مَحْمُولٌ عَلَى التَّشْرِيكِ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ جَائِزٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالُوا لَهُ أَنْ يُشْرِكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِ أُضْحِيَّتِهِ وَظَاهِرُهُ حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ أَشْرَكَهُ وَهُوَ ظَاهِرٌ إنْ كَانَ مَيِّتًا قِيَاسًا عَلَى التَّصَدُّقِ عَنْهُ وَيُفَرَّقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَا يَأْتِي فِي الْأُضْحِيَّةِ الْكَامِلَةِ عَنْهُ بِأَنَّهُ يُغْتَفَرُ هُنَا لِكَوْنِهِ مُجَرَّدَ إشْرَاكٍ فِي ثَوَابِ مَا لَا يُغْتَفَرُ ثُمَّ رَأَيْت مَا يُؤَيِّدُ ذَلِكَ وَهُوَ مَا مَرَّ فِي مَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ الْمُوَافِقُ لِمَا بَحَثَهُ بَعْضُهُمْ أَنَّ الثَّوَابَ فِيمَنْ ضَحَّى عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ لِلْمُضَحِّي خَاصَّةً لِأَنَّهُ الْفَاعِلُ كَالْقَائِمِ بِفَرْضِ الْكِفَايَةِ
 "(Seekor kambing) baik domba maupun kambing kacang itu memadai untuk kurban (satu orang) saja berdasarkan kesepakatan ulama, tidak untuk lebih satu orang. Tetapi kalau misalnya ada dua orang menyembelih dua ekor kambing yang membaur sebagai kurban bagi keduanya, maka tidak boleh karena masing-masing tidak menyembelihnya dengan sempurna. 
Hadits ‘Tuhanku, inilah kurban untuk Muhammad dan umat Muhammad SAW,’ mesti dipahami sebagai persekutuan dalam pahala. Ini boleh saja. Dari sini para ulama berpendapat bahwa seseorang boleh menyertakan orang lain dalam pahala kurbannya.
Secara tekstual, pahala itu didapat bagi orang menyertakan orang lain. Ini jelas, meskipun orang yang disertakan itu sudah wafat. Hal ini didasarkan pada qiyas sedekah atas mayit. Tentu harus dibedakan antara sedekah biasa dan ibadah kurban sempurna. Karena di sini sekadar berbagi pahala kurban dibolehkan. Saya melihat dalil yang memperkuat pernyataan ini seperti pernah dijelaskan di mana hukum ibadah kurban adalah sunah kifayah. 
Hal ini sejalan dengan bahasan sejumlah ulama yang menyebutkan bahwa pahala orang yang berkurban untuknya dan keluarganya itu sejatinya untuk dirinya sendiri. Karena, orang pertama lah yang berkurban, sama halnya dengan orang yang menunaikan ibadah fardhu kifayah," (Lihat Ahmad bin Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan keempat, tahun 2011, juz 4, halaman 354-355).

Bila ibadah kurban itu sudah diniatkan dalam status nadzar, maka hukum melaksanakannya sangat jelas, yaitu wajib.

Histori / Sejarah Qurban

Apabila kita memandang pada sisi historis dari perayaan Idul Adha ini, maka pikiran kita akan teringat pada kisah yang penuh teladan dari Nabi Ibrahim as, yaitu ketika Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menempatkan istrinya Hajar bersama Nabi Ismail putranya, yang saat itu masih menyusu.

Mereka ditempatkan disuatu lembah gersang yang sangat tandus, disana tidak tumbuh sebatang pohon pun. Lembah itu masih sangat sunyi dan sepi tidak ada seorang penghunipun ada disana. Nabi Ibrahim as sendiri tidak tahu menahu mengenai 'apa maksud sebenarnya dari wahyu Allah' yang menyuruhnya untuk menempatkan istri dan putranya yang masih bayi itu di suatu tempat paling asing yang berada di sebelah utara kurang lebih 1600 KM dari negaranya sendiri yaitu Palestina. Tapi baik Nabi Ibrahim as maupin istrinya Siti Hajar, tetap menjalankan dan menerima perintah itu dengan ikhlas dan penuh tawakkal.

Karena pentingnya peristiwa tersebut. Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an:

رَّبَّنَا إِنِّي أَسْكَنتُ مِن ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِندَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُواْ الصَّلاَةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُم مِّنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
"Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur." (QS Ibrahim: 37)

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa; ketika Siti Hajar kehabisan air minum hingga tidak bisa menyusui Nabi Ismail as, beliau mencari air kesana kemari sambil berlari-lari kecil (Sa’i) antara bukit Sofa dan Marwah sebanyak 7 kali. Kemudian Allah Ta'ala mengutus malaikat Jibril untuk membuat mata air Zam Zam lalu kemudian Siti Hajar dan Nabi Ismail as memperoleh sumber air untuk kehidupannya.

Lembah yang pada awalanya gersang itu, kini telah mempunyai persediaan air yang melimpah ruah. Keadaan yang berubah ini telah membuat tempat Siti Hajar dan Nabi Ismail banyak dikunjungi manusia dari berbagai pelosok terutama para pedagang yang sengaja datang untuk membeli air. Rezeki datang menghampiri dengan sendirinya dari segala penjuru.

Akhirnya lembah itu menjadi sangat dikenal orang hingga saat ini dengan sebuatan kota Mekkah, sebuah kota yang aman, indah dan makmur, berkah do’a yang dilantunkan Nabi Ibrahim as dan berkah kecakapan seorang ibu dalam mengelola kota dan masyarakatnya. Kota mekkah yang aman dan makmur ini digambarkan oleh Allah Ta'ala kepada Nabi Muhammad saw dalam Al-Qur’an:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِناً وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
"Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo’a: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, sebagai negeri yang aman sentosa dan berikanlah rizki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kiamat." (QS Al-Baqarah: 126)

Seperti yang digambarkan pada ayat tersebut, kita bisa memperoleh bukti yang jelas bahwa kota Makkah hingga saat ini menjadi tempat dengan kemakmuran yang melimpah. Jamaah haji dari seluruh penjuru dunia yang datang disetiap tahunnya, bisa memperoleh fasilitas yang cukup dan sesuai dengan yang dibutuhkan selama melakukan ibadah haji maupun umrah.

Hal itu membuktikan bahwa tingkat kemakmuran kota Mekah mampu bertahan bahkan meningkat di era modern saat ini. Tata pemerintahan, ekonomi serta keamanan hukum, menjadi faktor utama kemakmuran kota Mekah yang semakin mengundang decak kekaguman. Hal itu menjadi dalil, bahwa do’a Nabi Ibrahim as dikabulkan Allah SWT. Semua kemakmuran itu tidak hanya dinikmati oleh orang Islam saja. Orang-orang non muslimpun ikut menikmati kemakmuran itu tanpa terkecualikan.

Allah SWT berfirman:

قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
"Allah berfirman: “Dan kepada orang kafirpun, aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka. Dan itulah seburuk buruk tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 126)

Idul Adha juga sering disebut “Idun Nahr” artinya hari raya penyembelihan. Hal ini untuk memperingati ujian paling berat yang menimpa Nabi Ibrahim as. Buah dari kesabaran dan ketabahan Nabi Ibrahim as dalam menghadapi berbagai ujian dan cobaan yang berat, maka Allah swt memberinya hadiah berupa anugerah kehormatan dengan gelar “Khalilullah” (kekasih Allah).

Setelah gelar “Khalilullah” disandangnya, Malaikatpun bertanya kepada Allah Ta'ala: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasihmu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Allah Ta'ala berfirman: “Jangan menilai hambaku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”

Sebagai bentuk realisasi dari firmanNya ini, Allah SWT mengizinkan para malaikat untuk menguji keimanan serta ketaqwaan Nabi Ibrahim as. Kemudia malaikat mendapati; bahwa kekayaan dan keluarga yang dimilikinya tidak membuatnya lalai dalam ketaatannya kepada Allah SWT.

Dalam salah satu kitab klasik yang berjudul “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa; Dahulu Nabi Ibrahim as memiliki kekayaan berupa 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan bahwa; kekayaan Nabi Ibrahim as berupa ternak mencapai 12.000 ekor. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya termasuk pada golongan orang yang sangat kaya.

Pada suatu hari, Nabi Ibrahim as ditanya oleh seseorang “milik siapa ternak sebanyak ini?” maka ia menjawab; “Milik Allah SWT, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim as yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Allah, hal itulah yang kemudian menjadi ujian yang harus ia hadapi; yakni Allah menguji keimanan dan ketaqwaaa Nabi Ibrahim as melalui mimpinya yang haq, agar ia mengorbankan puteranya (Ismail) yang pada waktu itu masih berumur 7 tahun. Anak yang tampan rupawan, sehat lagi cekatan ini diperintahkan Allah supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.

Sungguh sangat mengerikan! bila memahaminya dengan akal pikiran saat ini, yang lebih memilih konsep kemanusiaan dari hak asasi manusia (HAM). Tidak akan mungkin ini bisa terjadi pada saat ini.

Peristiwa spektakuler itu diabadikan di dalam Al-Qur’an:

قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
"Ibrahim berkata : “Hai anakkku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu “maka fikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai bapakku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." (QS Aa-saffat: 102)

Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Allah, datanglah setan sambil berkata, “Ibrahim, Orang tua macam apa kamu?, apa kata orang nanti, anak saja disembelih?” “Apa kata orang nanti?” “Apa tidak malu? Tega sekali, anak satu-satunya disembeli!” “Coba lihat, anaknya lincah seperti itu!” “Anaknya pintar lagi, enak dipandang, anaknya patuh seperti itu kok dipotong!” “Tidak punya lagi nanti setelah itu, tidak punya lagi yang seperti itu! Belum tentu nanti ada lagi seperti dia.”

Nabi Ibrahim sudah mempunya tekad yang sangat kuat. Kemudian Ia mengambil batu lalu mengucapkan, “Bismillahi Allahu akbar.” dan batu itupun dilemparnya ke arah iblis yang sedang menggoda dan menghalanginya.

Peristiwa itu kini diabadikan sebagai salah satu rangkaian yang dilaksanakan oleh seluruh jamaah haji sampai sekarang yang dikenal dengan "Melempar Jumroh" sebagai simbol pengusiran terhadap setan dengan melemparkan batu kerikil sambil mengatakan, “Bismillahi Allahu akbar”.

Ketika mendapati ayahnya belum juga mengayunkan pisau dilehernya (Ismail). Itu membuat Ismail mengira bahwa ayahnya merasa ragu. Kemudian ia melepaskan tali pengikat dari tangannya, agar tidak muncul suatu kesan atau image dalam sejarah bahwa sang anak menurut untuk dibaringkan karena dipaksa oleh ayahnya. Kemudian ia meminta pada ayahnya untuk mengayunkan pisau sambil berpaling, supaya tidak melihat wajahnya.

Nabi Ibrahim memantapkan niatnya. Nabi Ismail pasrah bulat-bulat, seperti ayahnya yang telah tawakkal. Sedetik setelah pisau nyaris digerakkan, tiba-tiba Allah berseru dengan firmannya, menyuruh menghentikan perbuatannya tidak usah diteruskan pengorbanan terhadap anaknya.

Allah telah meridloi kedua ayah dan anak yang telah memasrahkan ketawakkalannya. Sebagai imbalan dari keikhlasan mereka itu, Allah  Ta'ala telah mengganti dan mencukupkan pengorbanan mereka dengan penyembelihan seekor kambing, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Saffat ayat 107-110:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ
“Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) dikalangan orang-orang yang datang kemudian.”
سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Yaitu kesejahteraan semoga dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim.”
كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ
“Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Awal Munculnya Kalimat Takbir Iedul Adha

Menyaksikan tragedi penyembelihan yang tidak ada bandingannya dalam sejarah umat manusia itu, telah membuat Malaikat Jibril kagum, seraya mengeluarkan ungkapan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” kemudian Nabi Ibrahim as menjawabnya “Laailaha illahu Allahu Akbar.” Yang kemudian diteruskan oleh Nabi Ismail “Allahu Akbar Walillahil Hamdu.’ Pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang paling besar dalam sejarah umat manusia itu membuat Nabi Ibrahim as menjadi seorang Nabi dan Rasul yang memberikan pengaruh besar pada peradaban kemanusiaan.

Peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim as bersama Nabi Ismail as itu, sekaligus menjadi pesan simbolik agama bagi seluruh umat manusia khususnya umat Islam.

3 Pelajaran Penting Dari Ujian yang dihadapi Nabi Ibrahim As Dan Puteranya

1. Ketakwaan. 

Pengertian taqwa terkait dengan ketaatan seorang hamba pada Sang Khalik dalam menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Koridor agama (Islam) mengemas kehidupan secara harmoni seperti halnya kehidupan dunia-akherat. Bahwa meraih kehidupan yang baik (hasanah) di akhierat kelak terlebih dahulu perlu melalui kehidupan di dunia yang merupakan ladang untuk memperbanyak kebajikan dan memohon ridho Nya agar tercapai kehidupan dunia dan akherat yang hasanah.

Sehingga kehidupan di dunia tidak bisa dipisahkan dari upaya meraih kehidupan hasanah di akherat nanti. Tingkat ketakwaan seseorang dengan demikian dapat diukur dari kepeduliannya terhadap sesamanya dalam kehidupan dunia. Contoh seorang wakil rakyat yang memiliki tingkat ketakwaan yang tinggi tentu tidak akan memanfaatkan wewenang yang dimiliki untuk memperkaya dirinya sendiri. Lebih jauhnya orang seperti ini akan merasa malu jika kehidupannya lebih mewah dari pada rakyat yang diwakilinya.

Kesediaan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih anak kesayangannya sendiri atas perintah Allah menandakan tingginya tingkat ketakwaan yang dimilikinya, sehingga tidak terjerumus dalam kehidupan yang mengambil kenikmatan sesaat yang menyesatkan. Kemudian dengan kuasa Allah ternyata yang akhirnya dikurbankan bukanlah Ismail kecil melainkan domba yang langsung dikirim dari Allah.

Peristiwa ini benar-benar mencerminkan hakikat Islam itu sendiri, yakni sangat menghargai nyawa dan kehidupan manusia dna peradaban manusia dimanapun dan kapanpun.

2. Hubungan antar manusia. 

Segala bentuk peribadatan umat Islam yang diperintahkan Allah SWT. senantiasa mengandung dua aspek yang tak terpisahkan, yakni; segala hal yang berkaitan langsung antara makhluk Allah (hablumminnalah) dan yang berhubungan dengan sesama manusia (hablumminannas).

Ajaran Islam sangat memperhatikan solidaritas sosial dan mengejawantahkan sikap kepekaan sosialnya melalui media ritual ibadah tersebut. Saat berpuasa tentu saja seorang yang mampu dalam harta benda akan merasakan bagaimana susahnya hidup seorang dhua’afa yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sangat sulit. kemudian dengan menyembelih hewan kurban dan membagikannya kepada kaum dlu'afa itu merupakan salah satu bentuk kepedualian sosial dari seorang muslim.

Kehidupan saling tolong menolong dan gotong royong dalam kebaikan telah menjadi ciri khas dari ajaran Islam. Hikmah yang dapat dipetik dalam konteks ini adalah seorang Muslim diingatkan untuk siap sedia berkurban demi kebahagiaan orang lain khususnya mereka yang kurang beruntung. Selain itu, juga harus waspada atas godaan dunia agar tidak terjerembab pada perilaku yang tidak terpuji seperti; keserakahan, mementingkan kepentingan diri sendiri, dan dari melalaikan ibadah kepada Allah swt.

3.  Peningkatan kualitas diri. 

Hikmah ketiga dari ritual ajaran Qurban ini adalah memperkukuh empati, kesadaran diri, pengendalian dan pengelolaan diri yang menjadi pondasi akhlak terpuji seorang Muslim. Akhlak terpuji dicontohkan para Nabi, tak terkecuali Nabi Muhammad saw. seperti membantu sesama manusia dalam kebaikan, memuliakan tamu, mementingkani orang lain dan senantiasa sigap dalam menjalankan segala perintah agama dan menjauhi hal-hal yang dilarang.
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ 
Wa innaka la'alā khuluqin 'aẓīm 
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS Al-Qalam: 4). 
Dalam Islam kedudukan akhlak sangat penting karena ia merupakan “buah” dari pohon Islam yang berakarkan akidah dan berdaunkan syari'ah. Segala aktivitas manusia tidak terlepas dari sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku. Sebaliknya, akhlak tercela dipastikan berasal dari orang yang bermasalah dalam keimanan dan merupakan manisfestasi dari sifat-sifat syetan dan iblis.

Dari sejarah kehidupan Nabi Ibrahim as dan keluarganya itu, telah melahirkan kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat sujudnya umat Islam di seluruh penjuru dunia. Air zam-zam yang tidak pernah kering, sejak ribuan tahun yang silam, sekalipun tiap harinya dikuras berjuta liter untuk memenuhi kehidupan penduduk Mekkah, sebagai tonggak jasa seorang wanita yang paling sabar dan tabah yaitu Siti Hajar dan putranya Nabi Ismail.

Kemudian yang paling akhir dari tulisan ini, hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan ibadah shalat Idul Adha ialah hakikat manusia diahadapan Allah adalah sama dan tiada perbedaan. Letah hal yang membedakan di antara mereka hanyalah taqwa. Dan bagi yang menunaikan ibadah haji, pada waktu wukuf di Arafah telah menjadi pesan mengenai gambaran yang akan dialami umat manusia ketika harus berkumpul dipadang mahsyar untuk dimintai pertanggung jawaban atas segal perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup didunia.

Wallahu a'lam bish showab.
Asep Rois
Asep Rois Informasi yang disampaikan dalam setiap postingan di blog ini memiliki kemungkinan untuk keliru dari yang sebenarnya. Sebaiknya lakukan koreksi sebelum mengambil isinya.

Posting Komentar untuk "Makna, Hukum Dan Sejarah Munculnya Ibadah Qurban"