Politik Ulama Tidak Bergeser Dari Prinsip Kebangsaan

Politik Ulama Tidak Bergeser Dari Prinsip Kebangsaan | Politik bukan dunia kelam bagi seorng ulama maupun hamba-hamba ‘alim yang lainnya. Politik bagi para ‘alim dan ulama mrupakan ilmu pngetahuan yg dapat dikembangkan dan dijadikan washilah mnyejahterakan rakyat lewat kepemimpinan. Para ulama mngembangkan ilmu pngetahuan politik lewat literatur fiqih siyasah, kaidah fiqih, dan sejarah Islam (tarikh).

Politik Ulama Tidak Bergeser Dari Prinsip Kebangsaan

Mreka dalam artian para ulama tdak melepaskan diri dari kaidah-kaidah hukum Islam, baik dalam melihat praksis politik maupun brkecimpung langsung dalam dunia politik. Ulama mmikirkan kemaslahatan yg lebih luas dari hanya sekadar rebutan kekuasaan dalam ranah politik praktis. Kalau pun terjun langsung dalam ranah tersebut, idealisme politik para ulama tdak brubah dan tidak bergeser dari prinsip kebangsaan dan kerakyatan.

Dalam konteks Nahdlatul Ulama, jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah ini telah melepaskan diri dari percaturan politik praktis sejak 1984. NU pernah mnjadi partai politik setelah keluar dari Masyumi pada 1950. Partai NU dideklarasikan pada 1952 dan mngikuti pemilu pertama kalinya pada 1955. Meskipun mnjadi partai, NU tdak terlena dgn praktis politik. Peran-peran kebangsaan para ulama justru mmbrikan sumbangsih besar atas eksistensi negara hingga saat ini.

Produk pemikiran ulama NU seperti Indonesia sebagai Darul Islam (1936), pngangkatan Presiden Soekarno sebagai waliyyul 'amri ad-dharuri bissyaukah (1954), hingga pembentukan Trikora sebagai solusi Papua Barat, mrupakan bukti bahwa para kiai mmegang peranan pnting sebagai aktornya dan kaidah fikih sebagai senjatanya.

Sebuah kaidah fiqih brbunyi Al-ashlu baqa’u ma kana ‘ala ma kana (hukum asal sesuatu adalah brlakunya kondisi sebelum terjadinya perubahan) yg awalnya dirumuskan guna mnyelesaikan problem praduga tak brsalah dalam hukum Islam, di tangan para kiai, mnjadi cara pandang visioner yg melegitimasi Indonesia sebagai Darul Islam.

Sikap tegas NU terkait darul Islam dibahas melalui Muktamar ke-11 NU tahun 1936 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ini mnunjukkan bahwa ketegasan NU mnolak darul Islam Kartosoewirjo mmpunyai dasar, tdak dilakukan secara srampangan. Hal ini juga mnggambarkan bahwa para ulama NU selalu mndasarkan diri dgn pijakan syariat. Apalagi konsep negara bangsa (nation state) Soekarno sama sekali tdak mngekang agama Islam sehingga negara bangsa mrupakan perwujudan aspirasi Islam.

Salah seorang ulama NU, KH Achmad Siddiq (1926-1991) mmbrikan pnjelasan terkait darul Islam yg dibahas dalam Muktamar NU 1936 di Banjarmasin. NU mngakui darul Islam karena di wilayah Nusantara pernah hidup kerajaan-kerajaan Islam. Namun, umat Islam saat itu hidup lestari dgn umat agama lain sehingga Islam adalah sistem nilai, bukan sistem negara.

KH Achmad Siddiq mnegaskan, pndapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah darul Islam sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU 1936 tersebut. Kata darul Islam bukanlah sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi sepnuhnya istilah keagamaan (Islam) yg lebih tepat diterjemahkan wilayatul Islam (daerah Islam), bukan negara Islam. (Abdul Mun’im DZ, Piagam Perjuangan Kebangsaan, 2011)

Hilmy Firdausy dalam Politik Maslahat Brlandaskan Kaidah Fiqih (2017) mncatat bahwa kaidah-kaidah fiqih pijakan para ulama pun brgerak, mnyatu dan seringkali mnjadi sarana pembentuk jalan tengah bagi persoalan-persoalan yg mnyentuh isu kedaulatan, integritas politik, dan kesatuan bangsa Indonesia. Fakta sejarah yg paling jelas dari cara kerja kaidah fiqih dalam lokus perpolitikan di Indonesia juga bisa kita lihat dalam diri Gus Dur.

Dalam tulisan-tulisannya, sulit atau bahkan mustahil mnemukan langsung kutipan-kutipan ayat al-Qur’an ataupun hadis. Yg banyak ditemukan justru kaidah-kaidah fiqih. Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah (kebijakan pemimpin harus didasarkan pada kesejahteraan rakyat) adalah satu dari sekian banyak kaidah yg sering Gus Dur kutip. Melalui kaidah tersebut, Gus Dur mampu mrumuskan relasi antara agama, negara dan kebudayaan. Melalui kaidah itu juga, Gus Dur rajin mngkritisi kebijakan-kebijakan pemrintah yg mndiskriminasi kaum minor dan lain sebagainya.

Ketika duduk di kursi kepresidenan, jalan pedang perpolitikan Gus Dur banyak dinilai sebagai jalan politik kontroversial. Bagi kalangan yg tdak terbiasa dgn mekanisme kerja kaidah fiqih, sulit untuk mmahami jalan pikiran dan strategi politik Gus Dur. Maka orang-orang ribut ketika di tahun 2000 Gus Dur setuju untuk mnjadi anggota Simon Perez Foundation Israel di tengah konflik brkepanjangan Palestina-Israel.

Karena bagi Gus Dur, percuma brusaha mndamaikan kedua negara yg sedang konflik jika juru damainya mnjadi musuh bagi salah satu dari keduanya. Jalan pikiran Gus Dur ini tdak brbeda misalnya ketika KH Wahab Chasbullah dgn Partai NU-nya selalu brada dalam kabinet bentukan Soekarno. Bahkan, konon Mbah Wahab banyak disindir sebagai Kiai Nasakom karena apapun kebijakan Soekarno, NU dipastikan ada.

Pergerakan Kiai Wahab dalam setiap percaturan dan pergolakan politik dinilai sebagai langkah Politik Jalan Tengah. Langkah politik ini tdak mudah dilakukan oleh siapa pun, karena bukan hanya mmbutuhkan langkah nyata, tetapi juga mnuntut argumntasi mmadai terkait persoalan yg terjadi. Tercatat, Kiai Wahab tak jarang brbeda pandangan dgn ulama dan kiai-kiai lain, baik kala mmimpin Masyumi dan NU. Seperti saat para kiai mnolak ajakan Hatta pada 1948 untuk duduk di kabinet dikarenakan Kabintet Hatta mnyetujui Perjanjian Renville, sedangkan para kiai mnolak hasil perjanian tersebut karena mrugikan rakyat.

Bagi Kiai Wahab, dulu Nabi Muhammad brupaya mngubah situasi munkar (untuk melenyapkannya) dgn perbuatan. Dgn duduk di kabinet, terbuka situasi dan kesempatan bagi ulama untuk melakasanakan misi tersebut (mmahamkan pemrintah terkait buruknya Perjanjian Renville untuk Indonesia). Kiai Wahab justru mnilai, ketika hanya duduk di luar kabinet, ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa. “Mungkin, bahkan dituduh sebagai pngacau,” tegas Kiai Wahab. (KH Saifuddin Zuhri, Brangkat dari Pesantren, LKiS, 2013)

Begitu juga saat Kiai Wahab mnerima konsep Nasakom Soekarno pada 1960. Ide Nasakom Soekarno terlihat jelas pada Amanat Presiden 17 Agustus 1960 yg kemudian terknal dgn rumusan “Jalannya Revolusi Kita” (Jarek). Mnerima konsep Nasakom tdak mudah bagi partai Islam lain seperti Masyumi sehingga Kiai Wahab dituduh macam-macam, di antaranya dituduh tdak konsisten, oportunis, bahkan dituduh ‘Kiai Nasakom’ pada masaera Demokrasi Terpimpin Soekarno.

Dalam pandangan Syaikhul Islam Ali dalam Kaidah Fikih Politik: Pergulatan Pemikiran Politik Kebangsaan Ulama (2018), bagi pngkaji fiqih, strategi politik Kiai Wahab tdak salah karena brpijak pada prinsip fiqih yg fleksibel dan elastis. Fleksibel tdak dapat disamakan dgn oportunis. Fleksibel mampu masuk di brbagai ruang dgn tetap mmpertahankan ideologi, sedangkan oportunis brpihak pada siapa pun asal dibri keuntungan materi. Sejak dahulu kala, bahkan saat NU mnjadi partai, para kiai konsisten mnjalankan politik kebangsaan dan politik kerakyatan dgn pijakan norma agama dan etika, bukan politik kekuasaan yg oportunis.

Ketika Bung Karno mnyatukan kaum agama, nasionalis, dan komunis dalam bingkai Nasakom, Kiai Wahab mndukung konsep tersebut dgn cara brgabung dalam sistem pemrintahan. Komitmn Kiai Wahab dan ulama-ulama pesantren tdak brubah terhadap gerak-gerik PKI dgn komunismnya, yaitu tetap melawan dan mnentang karena ideologi politik PKI brtentangan dgn prinsip Pancasila. Sebab itu, Kiai Wahab mmilih brgabung dalam Nasakom brtujuan untuk mngawal kepemimpinan Bung Karno supaya perjalanan pemrintahan tetap bisa dikndalikan oleh NU sebagai perwakilan umat Islam dan tdak dimonopoli oleh PNI atau pun PKI.

Politik Ulama Tidak Bergeser Dari Prinsip Kebangsaan

Ditegaskan oleh Kiai Wahab, untuk mngubah kebijakan pemrintahan tdak bisa dgn brteriak-teriak di luar sistem, tetapi harus masuk ke dalam sistem. Kalau Cuma brteriak-teriak di luar, maka akan dituduh makar atau pembrontak. Prinsip dan kaidah yg dipegang oleh Kiai Wahab dalam tataran fiqih ialah, kemaslahatan brgabung dgn Nasakom lebih jelas dan kuat daripada mnolak dan mnjauhinya, taqdimul mashlahah ar-rajihah aula min taqdimil mashlahatil marjuhah (mndaulukan kemaslahatan yg sudah jelas lebih didahulukan dari kemaslahatan yg belum jelas). Karena jika tdak ada NU sebagai perwakilan Islam, PKI akan lebih leluasa mmpngaruhi setiap kebijakan Soekarno.

Simpul jelas bisa ditarik dari dinamika politik ulama yg teguh dalam mmegang prinsip kemaslahatan bangsa dan negara brdasarkan kaidah-kaidah fiqih. Para ulama mmposisikan politik bukan sebagai ghayah (tujuan), tetapi sebagai washilah (perantara) mncapai tujuan baldatun thayibatun wa rabbun ghaffur, yaitu kondisi negeri yg subur dan makmur, adil dan aman di bawah rahmat dan ampunan Allah.

Artikel ini telah diterbitkan di http://www.nu.or.id dengan judul : Politik Kebangsaan Ulama 
Oleh Fathoni Ahmad >>> Redaktur NU Online
Asep Rois
Asep Rois Informasi yang disampaikan dalam setiap postingan di blog ini memiliki kemungkinan untuk keliru dari yang sebenarnya. Sebaiknya lakukan koreksi sebelum mengambil isinya.

Posting Komentar untuk "Politik Ulama Tidak Bergeser Dari Prinsip Kebangsaan"