Pasar Wage Saksi Bisu Toleransi Dalam Sejarah Purwokerto

Inilah Pasar Wage Saksi Bisu Toleransi Dalam Sejarah Purwokerto yang memuat fakta hubungan antara saudagar muslim dengan keturunan tionghoa dan berkolaborasi menciptakan tatanan kehidupan sosial yang tidak melemahkan penduduk lokal di kala itu.


Pasar Wage Saksi Bisu Toleransi Dalam Sejarah Purwokerto




Pasar Wage menjadi satu di antara pasar tradisional terbesar di Kota Purwokerto. Jika sebelumnya berstatus Pasar Induk, kini statusnya berubah menjadi pasar kota yang aktifitasnya hidup selama 24 jam.

Namun tak banyak yang tahu sejarah Pasar Wage. Pasar yang berada di Kecamatan Purwokerto Timur ini sebelum pecah perang Diponegoro (tahun 1825-1830) merupakan sebuah alun-alun kecil yang berada tepat di depan Pendapa Kadipaten. Pemerintahan kadipaten tersebut dipimpin oleh seorang panglima perang bernama  Adipati Pancurawis.

Letak kadipaten yang berada strategis di tengah kota menarik minat warga Thionghoa untuk berdagang. Mereka menawarkan berbagai dagangnya yang mereka bawa dari negeri asal kepada warga di sekitar kadipaten.

“Usai berdagang mereka (pedagang Tionghoa-red) ini menginap di emperan Pendapa Kadipaten. Mereka ini awal mula datang memang tidak punya tempat menginap,” kata Soegeng Wilojo (85) seorang kolektor benda dan foto bangunan bersejarah.

Selain sebagai tempat berteduh, para pedagang Tionghoa ini juga melakukan sembahyang di teras Kadipaten. Semakin lama, semakin banyak pedagang asongan yang berjualan di situ sampai akhirnya merambah hingga alun-alun. “Ada pedagang Islam juga (campuran pribumi dan arab), tapi mayoritas memang pedagang Tionghoa,” kata Soegeng.

Seiring surutnya masa pemerintahan Adipati Pancurawis, Belanda mengubah bangunan Pendapa Kadipaten khusus untuk tempat sembahyang warga Thionghoa yang akhirnya dipugar menjadi sebuah klenteng (sekarang Klenteng Hok Tek Bio). Sedangkan alun-alun yang sudah terlanjur ramai oleh aktivitas jual beli selanjutnya ditetapkan menjadi sebuah pasar yang dikenal dengan nama Pasar Wage.

“Saudagar-saudagar Tionghoa yang kaya kemudian membuat tempat tinggal di selatan pasar yang dikenal dengan nama Saudagaran (saat ini Jalan Sudagaran). Sedangkan pedagang Islam membuat permukiman di sebelah utara Pasar Wage yang dikenal dengan nama Kauman (sekarang Jalan Kauman Lama),” ujar Soegeng. (triono yulianto)

Artikel berita Pasar Wage Saksi Bisu Toleransi Dalam Sejarah Purwokerto ini sudah di terbitkan di satelitpost.com dengan judul Sejarah Pasar Wage Purwokerto yang Jadi Saksi Bisu Toleransi Saudagar Islam dan Tionghoa.
Asep Rois
Asep Rois Informasi yang disampaikan dalam setiap postingan di blog ini memiliki kemungkinan untuk keliru dari yang sebenarnya. Sebaiknya lakukan koreksi sebelum mengambil isinya.

Posting Komentar untuk "Pasar Wage Saksi Bisu Toleransi Dalam Sejarah Purwokerto"