Praktik Tawasul Menurut Pandangan Ahlussunah wal Jamaah

Table of Contents
Praktek tawasul jadi diskusi yang tidak kunjung usai. Kajian tawasul jadi bahan perbincangan terus-terusan karna memanglah banyak pihak yang ikut serta memberi patokan ditempat dan pemahaman yang berlainan. Berikut akan kita coba ulas Praktik Tawasul Menurut Pandangan Ahlussunah wal Jamaah


Secara umum praktik tawasul dianjurkan dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 35:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“Hai orang yang beriman, takwalah kepada Allah. Carilah wasilah kepada-Nya.”

Tawasul yaitu satu praktek doa dimana seorang mengikuti nama beberapa orang saleh dalam doanya dengan keinginan doa itu jadi istimewa serta di terima oleh Allah SWT. Di bawah ini dua lafal tawasul yang umum dipakai orang-orang :

اَللَّهُمَّ إِنِّي أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Allâhumma innî atawassalu ilaika binabiyyika muhammadin shallallâhu alaihi wa sallam.
“Ya Allah, aku bertawasul kepada-Mu melalui kemuliaan nabi-Mu, Nabi Muhammad SAW.”
يَا رَبِّ بِالمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الكَرَمِ
Yâ rabbi bil mushthafâ, balligh maqâshidanâ, waghfir lanâ mâ madhâ, yâ wâsi‘al karami.
“Tuhanku, berkat kemuliaan kekasih pilihan-Mu Rasulullah, sampaikanlah hajat kami. Ampunilah dosa kami yang telah lalu, wahai Tuhan Maha Pemurah.”

Praktek tawasul begini seringkali disalahpahami oleh beberapa orang. Tidaklah heran bila beberapa orang mengharamkan praktek tawasul begini karna menurut dia praktek tawasul memiliki kandungan kemusyrikan. 


Untuk hindari kepasalahpahaman itu serta menjauhi terjadinya kemusyrikan, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengatakan dengan detil beberapa hal tentang tawasul yang penting dipahami. Pandangan ini sebagai pijakan serta kepercayaan memahami Ahlussunah wal Jamaah seperti berikut :

أولا: أن التوسل هو أحد طرق الدعاء وباب من أبواب التوجه إلى الله سبحانه وتعالى، فالمقصود الأصلي الحقيقي هو الله سبحانه وتعالى، والمتوسَّل به إنما هي واسطة ووسيلة للتقرب إلى الله سبحانه وتعالى، ومن اعتقد غير ذلك فقد أشرك
“Pertama, tawasul adalah salah satu cara doa dan salah satu pintu tawajuh kepada Allah SWT. Tujuan hakikinya itu adalah Allah. Sedangkan sesuatu yang dijadikan tawasul hanya bermakna jembatan dan wasilah untuk taqarrub kepada-Nya. Siapa saja yang meyakini di luar pengertian ini tentu jatuh dalam kemusyrikan,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Hasani Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 123-124).
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengatakan dengan terang pada point pertama kalau tawasul merupakan satu diantara bentuk doa. Berarti, tawasul masih tetap ada dalam lingkaran beribadah pada Allah yang dimaksud doa. Sesaat pada point di bawah ini diterangkan kalau wasilah atau al-mutawassal bih harus suatu hal atau seorang yaitu kekasih-Nya atau suatu hal yang diridhai-Nya. 
ثانيا: أن المتوسِّل ما توسل بهذه الواسطة إلا لمحبته لها واعتقاده أن الله سبحانه وتعالى يحبه، ولو ظهر خلاف ذلك لكان أبعد الناس عنها وأشد الناس كراهة لها
“Kedua, orang yang bertawasul takkan menyertakan wasilahnya dalam doa kecuali karena rasa cintanya kepada wasilah tersebut dan karena keyakinannya bahwa Allah juga mencintainya. Kalau yang muncul berlainan dengan pengertian ini, niscaya ia adalah orang yang paling jauh dan paling benci dengan wasilahnya.”

Pada point ke-3, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengingatkan kalau wasilah atau al-mutawassal bih tidak mempunyai daya apa pun. Kuasa serta daya hanya punya Allah Yang Maha Esa. Orang yang mempercayai kalau wasilah atau al-mutawassal bih bisa berikan dampak pada kenyataan sudah jatuh dalam kemusykiran yang dilarang Allah SWT.


ثالثا: أن المتوسِّل لو اعتقد أن من توسل به إلى الله ينفع ويضر بنفسه مثل الله أو دونه فقد أشرك
“Ketiga, ketika meyakini bahwa orang yang dijadikan wasilah kepada Allah dapat mendatangkan mashalat dan mafsadat dengan sendirinya setara atau lebih rendah sedikit dari Allah, maka orang yang bertawasul jatuh dalam kemusyrikan.”

رابعا: أن التوسل ليس أمرا لازما أو ضروريا وليست الإجابة متوقفة عليه، بل الأصل دعاء الله تعالى مطلقا كما قال تعالى وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ و كما قال تعالى قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Keempat, praktik tawasul bukan sesuatu yang mengikat dan bersifat memaksa. Ijabah doa tidak bergantung pada tawasul, tetapi pada prinsipnya mutlak sekadar permohonan kepada Allah sebagai firman-Nya, ‘Jika hamba-Ku bertanya tentang-Ku kepadamu (hai Muhammad), sungguh Aku sangat dekat,’ atau ayat lainnya, ‘Katakanlah hai Muhammad, ‘Serulah Allah atau serulah Yang Maha Penyayang. Panggilan mana saja yang kalian gunakan itu, sungguh Allah memiliki nama-nama yang bagus.’’”

Mengenai pada point ke-4 ini, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengingatkan kalau tawasul seperti point pertama yaitu doa semata. Berarti, ijabah satu doa tidak bergantung sekalipun pada tawasul atau tidaknya. Ijabah doa adalah hak mutlak Allah SWT.

Dengan hal tersebut, pengaitan praktek tawasul serta kemusyrikan yaitu suatu hal yg tidak berdasarkan serta terlihat memaksakan. Pasalnya, dengan empat point itu praktek tawasul tidak memiliki kandungan syirik sekalipun serta sebagai bentuk adab. Wallahu a‘lam.


Posting Komentar